Victory [Part I]

Halo!! Selamat datang di post blog gue yang baru! Kali ini, gue akan menulis sesuatu yang baru (semua jenis tulisan yang akan gue buat di blog ini baru sih, wong blog baru kok), yaitu cerita. Cerita kali ini bergenre drama dengan sedikit sentuhan komedi, dengan latar perang revolusi Indonesia di tahun akhir 1940an. Cerita ini akan gue bikin panjang menjadi beberapa bagian, dan post ini berisi bagian pertama ceritanya. Cerita ini berjudul “Victory”, karakter utamanya adalah Bima Nusantara, seorang pemuda kota yang kotanya baru diserang Belanda. Oke deh, itu ya intronya, silakan membaca!

Victory.

Di waktu senja itu, aku dan teman-temanku beristirahat setelah melawan penyerangan Belanda di kota kami bersama para TKR. “Aku lelah.” Ujar salah satu temanku kepadaku dan teman-temanku yang lain sambil terengah-engah. Ia terlihat seperti budak yang lelah setelah bekerja keras seharian. Memang, penyerangan itu sangatlah berat, pasukan Belanda menyerang dengan kekuatan yang terlihat seperti ribuan pasukan ganas yang haus darah. Tetapi, dengan keberanian dan tekad yang sekuat baja, pasukan rakyat berhasil mengalahkan mereka, walaupun dengan korban yang tidak sedikit.

Aku sendiri kehilangan sahabatku yang bernama Amir, Ia tewas setelah tertembak seorang penembak jitu Belanda dari jauh. Ia tewas tepat di sampingku, aku bertanya-tanya pada Tuhan, mengapa tidak nyawaku saja yang Ia ambil? Amir telah melakukan hal-hal baik yang tak terhitung padaku dan rakyat kotaku serta keluarganya. Sikapnya yang periang membuat kami tetap semangat dan menjaga persatuan.

Jiwaku meringis kesakitan dan sedih saat melihat Ibunda Amir menangisi jasad anak semata wayangnya setelah ledakan bom meraup nyawa adik Amir. Semakin sedih lagi aku setelah mengingat bahwa Ayah Amir sedang berjuang meraih kemerdekaan di Jawa Timur. Alangkah sedihnya Ayahnya saat Ia akan menerima kabar bahwa anaknya telah tewas di peperangan, aku harap ia akan tetap semangat meraih kebebasan bagi bangsa ini.

Setelah lama melihat Ibunda Amir menangis, aku putuskan untuk pulang ke rumahku agar aku tetap tegar. Aku tinggal sendiri di rumahku, orangtuaku berada di kampung, jauh dari daerah Belanda. Sesampainya di rumah aku duduk sebentar dan menyeduh sekantung teh untuk merelaksasikan tubuhku. Segelas hangat selesai aku nikmati, aku lalu mengambil sapu dan membereskan sisa-sisa puing-puing rumahku yang terkena peluru-peluru Belanda.

Tak terasa, malam sudah tiba. Aku istirahat setelah membereskan rumahku. Suara-suara jangkrik menemaniku menghayati suasana yang gelap dan sunyi. Lampu-lampu kota telah mati, menambah hawa sunyi yang dapat kurasakan sampai tulang-belulangku. Lama-lama aku bosan menyendiri, biasanya malam-malam seperti ini aku dan teman-temanku berbincang-bincang tentang hari kami, mungkin saat ini mereka sedang berada di rumah mereka sendiri, membereskan apa yang tersisa dari rumah mereka, atau mungkin mereka telah pulang ke rumah Sang Pencipta. “Hari ini si Sri menyapaku di taman! Haha!” Ingatku pada cerita Amir pada salah satu malam di mana kami berbincang tentang teman-teman wanita kami. Memang, sosok Amir memang populer di kalangan wanita kota kami, karena sifatnya yang ramah. Namun, ingatan itu aku hentikan agar aku tidak termakan nostalgia, lagipula, ini masa-masa di mana pemuda dituntut untuk tetap kuat dan tegar untuk meraih kemenangan.

Lama ku duduk-duduk di depan rumahku, tidak kusangka bahwa malam sudah semakin gelap. Aku segera membereskan ranjangku, dan bersiap untuk tidur. “Selamat malam, teman-teman.” Ucapku dalam hati kepada teman-temanku yang mungkin sekarang sudah tertidur pulas.

“Tok tok tok”. Suara ketukan di pintu rumahku, aku terbangun mendengarnya. Kulihat jam, ternyata sekarang sudah jam sembilan pagi, biasanya aku bangun pada saat subuh, entah kenapa sekarang aku bangun sesiang ini, mungkin karena kemarin aku sangat lelah. Mendengar ketukan itu, aku bergegas berjalan ke pintu rumahku. Sesambil berjalan aku merapihkan rambutku, sinar mentari masuk dari jendelaku mengenai mataku seperti sebuah sengatan, pikiranku langsung terkaget dan tersadar penuh.“Tok tok” Lanjut ketukan pintu berbunyi, aku menjawab, “Iya sebentar”, agar sang pengetuk tahu bahwa pintu akan dibuka. Kuambil kunci pintu, kupasang di kenop pintuku dan kuputar sampai pintunya terbuka.

“Selamat pagi.” Sapa pengetuk pintu itu. Ternyata, Ia adalah Arun, salah satu temanku yang telah bergabung dengan TKR sejak lama. “Halo Arun, selamat pagi, silakan masuk.” Sapaku balik kepadanya, sekalian aku mempersilakannya masuk ke rumahku. “Iya Bima, terimakasih.” Balas Arun sambil menyebut namaku. “Mohon maaf ya, rumahku berantakan. Aku baru bangun pada saat kau mengetok pintuku. Silahkan duduk.” Ujarku padanya. “Tidak apa-apa Bima.” lalu Ia segera duduk di sofa berukiran motif Jawa yang dihadiahkan pamanku untukku.
“Apakah kau mau meminum teh? Aku hanya memiliki teh saja, Belanda telah menghancurkan dapurku kecuali laci tehku. Tuhan mampu melindunginya dari peluru mereka, mungkin Tuhan adalah orang Inggris ya? Haha.” Candaku sambil menawarkannya teh. “Haha, bisa saja Bim.” Balas Bima. “Tapi terimakasih, aku ke sini bukan untuk beromong kosong. Aku ke sini untuk merekrut pemuda untuk bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat. Apakah kau tertarik?”. Ternyata, Ia ke sini untuk mengajakku bergabung dengan TKR.

Langsung kupikirkan tawaran itu. Aku memang tertarik dengan TKR, mereka adalah tentara yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Namun, aku tidak suka kekerasan, aku lebih suka cara yang diplomatik dan damai untuk mencapai kemerdekaan. “Kumohon, pikirkan ya tawaran ini, kami butuh banyak kekuatan pemuda.” Tambah Arun. Aku terkejut, jarang sekali Arun memohon, dari dulu Ia sangat tegas dan jarang memohon kepada orang lain. Aku sadar, ini berarti mereka telah berada dalam kekurangan besar, apalagi setelah pertempuran kemarin. Tanpa ragu-ragu, aku terima tawarannya karena aku ingin membantu para TKR. “Baiklah, aku terima tawaranmu, Run. Apa yang harus kupersiapkan?” Balasanku kepada Arun. Arun menjawab, “Siapkanlah beberapa pasang baju untuk saat kamu tidak bertugas, serta ucapkanlah salam kepada keluargamu. Siang nanti kau dan teman-teman lain yang telah setuju untuk ikut akan pergi ke pegunungan untuk didaftarkan. Kita akan ke sana dengan sebuah truk.”. “Baik, terimakasih Arun.” Balasku. “Aku permisi dulu ya, aku akan melaporkan hasil perekrutan kepada pimpinanku. Selamat pagi.” Ujar Arun sambil berpisah keluar. “Sampai jumpa lagi.” Salamku balik.

Sehabis itu, aku segera mencari sebatang pensil dan sebuah kertas untuk menulis surat kepada orangtuaku. Siang nanti sebelum berangkat rencananya aku akan pergi ke kantor pos untuk mengirimkan suratnya. Akhirnya, aku menemukan sebatang pensil baru dan sebuah kertas yang tidak lecak di lemari samping tempat tidurku. Aku langsung menuju ke meja tulisku dan duduk untuk menulis surat.

Kepada Yth.                                                                                                     19 Oktober 1948
Ayah dan Ibu di Tempat.

Salam, Ayah dan Ibu. Sudah lama aku tak memberi kabar, mohon maaf. Kesibukanku di kota tidak bisa dihindari, ada saja urusan dan pekerjaan yang datang setiap hari.

Kemarin kotaku diserang Belanda, tapi tenang saja, anakmu ini baik-baik saja. Para pemuda di kota ini telah berhasil mengalahkan Belanda, walau dengan korban yang tidak sedikit.

Ayah dan Ibu, maksudku mengirim surat ini selain untuk memberi kabar adalah, aku ingin memberi tahu bahwa aku telah memutuskan untung bergabung dengan TKR dan berjuang melawan para Belanda. Saat surat ini tiba aku sudah akan berada di pangkalan TKR, sesampainya di sana aku janji akan menyurati kalian lagi.
Mohon doakan aku ya Ayah Ibu, semoga aku dan teman-temanku berhasil memerdekakan bangsa dan negara. Semoga Tuhan menyertai kita. Amin.
                                                                                                    Salam, anakmu

                                                                                                    Bima Nusantara
BERSAMBUNG

Baca juga:

Review Film “Love You, Love You Not” Film barunya Chelsea Islan: https://aryoduta86.wordpress.com/2015/08/13/review-film-love-you-love-you-not/

Tinggalkan komentar